REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI
REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI
REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI
REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI
REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI

Nahkoda ke-4

Dari Santri Untuk Negeri

Thursday 31 March 2016

Syekh Ammar Bugis


Apakah anda mengenal sosok foto berikut ini? Siapakah beliau?


Beliau adalah Syeikh Ammar Bugis seorang ulama Jedah juga seorang penghafal Al-Qur’an yang lahir di Amerika Serikat pada tanggal 22 Oktober 1986. Nama Bugis di ambil dari nama kakeknya yang berasal dari Makassar, Sulawesi yaitu Syeikh Abdul Muthalib Bugis yang hijrah dari Sulawesi ke Mekkah dan mengajar tafsir di Masjidil Haram. Sejak lahir kondisi beliau lumpuh total tidak bisa berdiri bahkan kepala pun tak bisa ditengokkan ke kanan dan ke kiri, begitupun dengan lidah yang menjulur keluar sejak lahir, namun siapa sangka banyak kelebihan yang beliau miliki. Beliau sudah hafal Al-Qur’an sejak usia 13 tahun dalam 2 tahun, tak pernah patah semangat untuk banyak mempelajari Al-Qur’an, bahkan beliau pun mengajar sebagai dosen di Universitas Dubai.

Kehidupan beliau dengan serba keterbatasan menjadikan cerminan bagi kita agar lebih banyak bersyukur, lebih banyak belajar, lebih banyak beribadah, lebih dekat dengan Allah SWT. Beliau bisa menjadi inspirasi bagi kita semua dengan cara pandang beliau dengan keterbatasannya yang sangat menyayangkan banyak kaum muslimin yang memiliki fisik yang sempurna tapi banyak yang tidak yakin dengan kemampuan dirinya, kurang yakin dengan jaminan Allah Yang Maha Kuasa.

Kesungguhan beliau dalam menjalani kehidupan yang terbatas terbukti atas di anugerahkannya seorang istri dan anak, sebuah keluarga kecil untuk beliau. Bahkan dalam buku karangan beliau, beliau pernah menulis beberapa pertanyaan dalam judul “Qohir Almustahil"

Bagaimana saya mengungkapkan keinginan (menikah) ini? Kira kira seperti apakah reaksi mereka? Bagaimana saya akan menjalani kehidupan rumah tangga? Apakah saya layak menikah? Apakah ada perempuan yang bersedia menjadikan saya sebagai suami?

Jawaban atas pertanyaan beliau Allah jawab dengan dihadirkannya Ummu Yusuf sebagai pendamping hidupnya.
Nah, fenomena Syeikh Ammar ini menunjukkan bahwa tidak ada yang mustahil bagi Allah SWT. Namun pikiran dan perasaan kita sendiri yang seringkali memustahilkan diri kita yang akhirnya itu semua menjadi do’a buat kita sendiri. Dalam sebuah hadits, Allah SWT menyatakan bahwa:
“Ana ‘inda zhanni ‘abdi bii / Aku ini sesuai persangkaan hamba-Ku kepada Ku” (HR.Bukhari dan Muslim)

Artinya, Allah akan ‘’menuruti’’ persangkaan pikiran dan perasaan manusia akan takdirnya sendiri. Sebagai contoh ketika banyak orang merasa mustahil bisa naik haji karena kondisinya miskin atau banyak utang. Yang akibatnya, malah mustahil beneran. Padahal, dengan bersandar pada Allah Yang Maha Kuasa, kemiskinan dan utang bukan hambatan untuk ke Tanah Suci.
Mari kita do’akan beliau dan tingkatkan rasa syukur kita, jadikan beliau sebagai motivator dalam kehidupan kita. Aamiin…

Written By Iwan

Tuesday 29 March 2016

Aku, Ibu dan Menyulam



Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat ke atas dan bertanya, apa yang mak lakukan. Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet.

Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan lembut: "Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu menyelesaikan sulaman ini, nanti setelah selesai, kamu akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan kamu dapat melihat sulaman ini dari atas."

Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan putih, begitu Semrawut menurut pandanganku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil, "anakku, mari kesini, dan duduklah di pangkuan ibu."

Waktu aku duduk, aku heran dan kagum melihat bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang ku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet.

Kemudian ibu berkata: "Anakku, dari bawah memang nampak ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah pola, ibu hanya mengikutinya.

Sekarang, dengan melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari apa yang ibu lakukan. “Nak, apakah kamu tahu maksudnya ini?” nggak mak, jawabku. “Ketika kamu melihat benang hitam tadi, itulah kehidupan, ruwet, kamu jangan berputus asa, karena setelah ada kehidupan yang suram akan datang keindahan.”

Monday 28 March 2016

Dekapan Hidup



Ketika aku masih bayi, sebagai makhluk spiritual yang tak membutuhkan banyak materi duniawi, bagiku yang terpenting adalah kasih dari ibu. Dan saat aku mendapatkannya melalui dekapan dan buaian, juga dari air susunya sebagai perwujudan fisik dari cinta kasihnya, kebutuhanku sudah terpenuhi dengan sempurna.

Menginjak besar, sebagai anak kecil yang senang menjelajah dan bereksperimen, yang terpenting bagiku adalah segala macam mainan dan ruang seluas-luasnya untuk berpetualang.

Di saat musim Pancaroba menghampiri jalur hidupku, aku mulai merasakan suatu kebutuhan untuk berekspresi dan mencari pengakuan dari lingkungan pergaulanku. Karena itu, yang terpenting bagiku adalah teman-temanku.

Kini, ketika usia semakin remaja, saat mataku semakin terbuka lebar dan wawasan diperluas oleh buku-buku bacaan dan perenungan, aku mulai melihat kehidupan sebagai sebuah lingkaran tak terputus dari kesengsaraan. Aku mulai menyadari bahwa, seberapa tinggi pun pencapaian duniawiku di dunia ini, jika aku melalaikan tugas utamaku untuk melepaskan diri dari lingkaran Samsara ini, maka aku tak akan pernah menggapai hal terpenting yang seharusnya aku capai Kebebasan sejati.

Thursday 24 March 2016

Di Balik Detik Kehidupan

Waktu adalah umur manusia, ia tersusun dari detik demi detik hingga meningkat menjadi menit lalu jam, hari, dan seterusnya. Hasan Al Bashri pernah berkata: "Wahai Bani Adam! Sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari-hari. Ketika hari telah berlalu,maka berlalu pulalah sebahagian dari dirimu"

Diantara sebab terpenting dari suksesnya para pendahulu kita dalam menapaki segala tantangan dan rintangan yang menghadang adalah kedisiplinan mereka mengisi waktu dengan menginterospeksi setiap detik yang berlalu. Lebih-lebih terhadap menit, jam ataupun hari. Maka pantaslah jika mereka (umat Islam saat Rasulullah masih hidup) menyandang gelar "Khoirul Ummah" (sebaik-baik generasi).

Demikian agungnya makna waktu dalam kehidupan manusia. Rosulullah SAW telah bersabda : "Tidaklah akan berpindah Kaki seorang hamba pada hari kiamat, sampai ia ditanya Tentang empat perkara. Tentang umurnya, bagaimana ia menghabiskannya, tentang jasadnya, bagaimana ia mempergunakannya tentang hartanya, dari mana ia mendapatkannya dan kemana ia menghabiskannya, dan tentang ilmunya, bagaimana ia mengamalkannya. (Ad Darimi: 538)

Manusia akan mempertanggungjawabkan sekecil apapun persoalannya di dunia ini. Maka sungguh mengherankan, bagaimana jam, hari dan tahun berlalu dengan sia-sia. Ibnu Mas'ud berkata: "Saya sangat membenci sekali, jika melihat seseorang yang leha-leha, tidak mengerjakan amalan untuk dunianya maupun untuk akhiratnya."
  
Begitulah para salaf ash sholih, mereka selalu mengisi umurnya dengan tekun, baik dengan perkara dien ataupun dunia, tanpa letih dan jemu. Waktu yang terkait dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada Allah SWT."Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz. Dzariyat :56).

Ibadah kepada Allah tidak akan terwujud kecuali dengan penjagaan terhadap waktu. Jika seorang hamba memahami makna ibadah dan tujuan penciptaan makhluk, maka sudah pasti ia akan memahami pentingnya waktu. Dan jika waktu adalah barang yang berharga bagi orang yang berakal, itu tak lain karena waktu adalah umur manusia, sebuah kehidupan yang dimulai ketika saat kelahiran dan berakhir hingga detik-detik menjelang ajal.

Sunday 20 March 2016

Tuhan Yang Jauh


Oleh Ali Usman

Jalaluddin Rumi (604-672 H/1207-1275 M) dalam kitabnya, Masnawi, bercerita: Dahulu, ada seorang muazin bersuara jelek di sebuah negeri kafir. Ia memanggil orang untuk shalat, tetapi umat muslim lainnya justru menegur, "janganlah kamu memanggil orang untuk shalat. Kita tinggal di negeri yang mayoritas bukan beragama Islam. Bukan tidak mungkin suaramu itu akan menyebabkan terjadinya kerusuhan dan pertengkaran antara kita dan orang-orang kafir." 

Namun muazin tersebut menolak nasihat banyak orang. Ia merasa bahagia dengan melantunkan azannya yang tidak bagus itu di negeri orang kafir. Ia merasa mendapat kehormatan untuk memanggil shalat di satu negeri di mana orang tak pernah shalat.

Kekhawatiran itu berwujud nyata. Seorang kafir datang kepada mereka (orang muslim) suatu pagi, dengan membawa jubah, lilin, dan manisan. Berulang-ulang dia bertanya, "katakan kepadaku di mana sang muazin itu? Tunjukkan padaku, siapa dia, muazin yang suara dan teriakannya selalu menambah kebahagiaan hatiku?" Seorang muslim bertanya, "kebahagiaan apa yang engkau peroleh dari suara muazin yang jelek itu?"

Lalu orang kafir itu bercerita, "suara muazin itu menembus ke gereja dan tempat kami tinggal. Aku mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik dan berakhlak mulia. Ia berkeinginan sekali untuk menikahi seorang muslim. Ia mempelajari agama dan tampaknya tertarik untuk masuk Islam. Aku tersiksa, gelisah, dan terus-menerus dilanda kerisauan memikirkan anak gadisku itu. Aku khawatir dia akan masuk Islam. Sampai suatu saat anak perempuanku mendengar suara azan. Ia bertanya, suara apakah yang terdengar jelek dan mengganggu telingaku itu? Belum pernah dalam hidupku mendengar suara sejelek itu di tempat-tempat ibadah atau gereja."

Orang kafir melanjutkan ceritanya, “anak gadisku itu hampir tidak percaya. Dia bertanya lagi kepadaku, "apakah benar suara yang jelek itu adalah suara untuk memanggil orang sembahyang?" Namun ketika dia sudah diyakinkan bahwa betul suara itu adalah azan, wajahnya berubah pucat pasi. Dalam hatinya tersimpan kebencian pada Islam. Begitu aku menyaksikan perubahan itu, aku merasa dilepaskan dari segala kecemasan dan penderitaan.

Singkat cerita, ketika orang kafir itu bertemu dengan si muazin, dia berkata, "terima kasih hadiah ini karena engkau telah menjadi pelindung dan juru selamatku. Berkat kebaikan yang telah engkau lakukan, kini aku terlepas dari kegelisahan. Sekiranya aku memiliki kekayaan dan harta benda yang banyak, akan aku isi mulutmu dengan emas."

Hikmah parodi

Rumi mengajari kita sebuah cerita yang berisi parodi, sebuah sindiran yang sangat halus. Azan yang dikumandangkan dengan buruk bukan hanya dapat menghalangi orang untuk masuk Islam, tetapi ini juga soal metode komunikasi—atau dalam bahasa agama "metode dakwah"—yang kurang tepat. Bahwa betul apa yang disampaikan itu suatu kebenaran Ilahi, tetapi jika caranya salah, seperti orang memberikan makanan lezat kepada orang lain dengan cara melemparnya, tidak dengan yang lazim/sopan sebagaimana menjadi aturan adat atau norma agama, orang lain akan enggan  nerimanya.

Jalaluddin Rakhmat (2007) menyebut model keberagamaan seperti yang ditunjukkan oleh muazain di atas sebagai "kesalehan pulasan", yaitu orang yang meletakkan nilai pada segi lahiriah. Seperti orang yang berazan, ia merasa azannya betul-betul melaksanakan perintah agama. Karena azan itu, seperti disebutkan dalam hadits, adalah suatu kewajiban yang mulia. Dengan berpegang pada teks itu, maka orang berlomba-lomba mengumandangkan azan, apalagi dilakukan dengan menggunakan pengeras suara bersahut-sahutan. Ini juga berlaku kepada amalan ibadah lain yang cenderung—meminjam istilah wakil presiden Jusuf Kalla melakukan "polusi udara" pada kasus pemutaran kaset ngaji.

Apakah hal itu salah? Tentu saja tidak, tetapi mungkin perlu mempertimbangkan aspek substansi (batiniah) selain aspek lahiriah ibadah. Apakah dengan berazan atau bahkan mengaji menggunakan pengeras suara dapat melipatgandakan pahala di sisi-Nya? Bagaimana jika dengan lantunan ayat atau azan itu justru mengganggu masyarakat lain yang non-muslim karena bising yang ditimbulkannya? Atau jangan-jangan kita menganggap bahwa Tuhan itu jauh (padahal Dia sendiri mengatakan (Q.S al-Baqarah: 186) bahwa diri-Nya sangat dekat dengan kita, fainni qarib) dan tidak mendengar (padahal Dia adalah sami', Maha Mendengar) sehingga perlu dipanggil lewat pengeras suara?

Gus Dur dan Gus Mus

Jadi ingat humor berikut ini. Tokoh agama Islam, Kristen, dan Budha sedang berdebat. Gus Dur mewakili dari agama Islam. Kala itu yang diperdebatkan mengenai agama manakah yang paling dekat dengan Tuhan? Seorang biksu Budha langsung menjawab, "Agama sayalah yang paling dekat dengan Tuhan, karena setiap kami beribadah ketika memanggil Tuhan kami mengucapkan 'Om'. Nah kalian tahu sendiri, begitu dekatnya hubungan keluarga antara paman dengan ponakannya?"

Seorang pendeta dari agama Kristen menyangkal. "Ya tidak bisa, pasti agama saya yang lebih dekat dengan Tuhan", ujar pendeta. "Lah kok bisa?", sahut biksu penasaran. "Kenapa tidak, agama Anda kalau memanggil Tuhan hanya Om, tetapi kalau di agama saya memanggil Tuhan itu 'Bapa'. Nah kalian tahu sendiri, lebih dekat mana anak dengan bapaknya daripada keponakan dengan pamannya?" jawab pendeta.

Gus Dur yang belum mengeluarkan argumen masih tetap tertawa malah terbahak-bahak setelah mendengar argumen dari pendeta. "Loh kenapa Anda kok tertawa terus?" tanya pendeta penasaran. "Apa Anda merasa bahwa agama Anda lebih dekat dengan Tuhan?" sahut biksu bertanya pada Gus Dur.

Gus Dur masih saja tertawa sambil mengatakan "Ndak kok, saya ndak bilang gitu, boro-boro dekat justru agama saya malah paling jauh sendiri dengan Tuhan." Jawab Gus Dur dengan masih tertawa. "Lho kok bisa?" tanya pendeta dan biksu makin penasaran. "Bagaimana tidak, lah wong kalau di agama saya itu kalau memanggil Tuhan saja harus memakai Toa (pengeras suara)," jawab Gus Dur.

Karena itulah, tidak berlebihan, jika KH Musthafa Bisri atau Gus Mus menulis puisi Kau ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana, yang penggalannya berbunyi, "... Aku harus bagaimana/Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggilnya dengan pengeras suara tiap saat/Kau bilang suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai."

Penulis adalah Dosen Filsafat dan Tasawuf pada Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran (STAISPA) Yogyakarta

Friday 18 March 2016

Payung Teduh Di Tanah Pattinjo

Mula-mula Baso berkenalan ketika hujan turun lebat. Sebab daerah sudut pinrang itu yang bertanah pattinjo, lebih banyak hujan dari pada panasnya. Mereka akan kembali ke rumah, tiba-tiba hujan lebat turun ketika mereka ada di depan lepau orang. Baso membawa payung dan Tenri bersama seorang temannya tidak berpayung.
Seharian ini hujan, mula-mula mereka menyangka hujan akan lekas reda, rupanya hujan yang tak berangin turun lama dan lebat. Sehingga Baso termenung di lepau itu, melihat titik-titik air dari atas ke tanah, menembusi pasir yang terkumpul.
Heran dengan Baso, mengapa dia tidak berangkat saja padahal dia membawa payung?
Baso tahu akan kehidupan Tenri, seorang gadis desa yatim piatu, anggun nan menawan wajahnya, menjadi perbincangan mulut-mulut para pemuda desa. Tidak sampai hati hendak meninggalkan mereka, meskipun belum bertegur sapa, tetapi tak membuka mulut.
Hari sore juga, tiba-tiba timbullah keberanian Baso, meskipun keringat mengucur dikala hujan, bermuka sopan menyapa Tenri.
“Tenri.... !”
Tenri tenang-tenang saja dan tidak menjawab, seakan menunggu apa yang dikatakan selanjutnya.
            “Sukakah Tenri saya tolong ?”
            “Apakah gerangan pertolongan Daeng itu ?”
“Berangkatlah lebih dahulu, pulang ke rumah, mak..mu mungkin akan khawatir jika berlarut terlalu lama di sini, pakailah payung ini berangkatlah.”
“Terima kasih!” jawab Tenri, sedang temannya tersenyum tersimpuh malu-malu juga.
“Jangan ditolak pertolongan ini, jika kelak engkau meminta pertolongan lenteran tidak ada yang menolong, hendak kemana ingin mengadu ?”
“Dan Daeng sendiri bagaimana ?” tutur Tenri.
“Saya seorang laki-laki, tak usah disusahkan, pukul 8 atau 9 malampun saya sanggup pulang sendiri, hujan ini akan reda. berangkatlah dahulu.”
“Kemana payung ini saya kembalikan ?”
“Besok saja atau jika ada waktu tak jadi apa, ke rumah macikku !”
“Terima Kasih Daeng, atas budi yang baik dari Daeng,” tutur Tenri sambil tersenyum layak bulan yang menuju pagi.”
            “Ah, baru pertolongan seperti itu, Tenri sudah hendak mengucapkan terima kasih !”
Tenri dan temannya pun berangkat, di dalam hujan dengan teduh payung, dan berlambat-lambat.
Baso tegak temenung seorang diri, menunggu hujan reda. Dalam menungannya itu, berjalanlah pikirannya kian ke sana ke mari, tatkala ia meningat payungnya, tatkala juga ia mengingat hujan di kampung halamannya yang dingin nan bersahabat. Ia menyempatkan diri untuk tinggal di negeri Pattinjo ini. Di Mandar ia dianggap orang berdarah Pattinjo, di tanah Pattinjo ia di anggap orang Mandar, kemalangan hidup tiba dalam kehidupannya.
Lama-lama ia teringat tenri meminjam payungnya, itulah rupanya Tenri, yang kerap kali disebut oleh mulut anak muda setempat, yang jadi buah pujian.