REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI
REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI
REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI
REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI
REPUBLIK SANTRI REPUBLIK SANTRI

Friday 18 March 2016

Payung Teduh Di Tanah Pattinjo

Mula-mula Baso berkenalan ketika hujan turun lebat. Sebab daerah sudut pinrang itu yang bertanah pattinjo, lebih banyak hujan dari pada panasnya. Mereka akan kembali ke rumah, tiba-tiba hujan lebat turun ketika mereka ada di depan lepau orang. Baso membawa payung dan Tenri bersama seorang temannya tidak berpayung.
Seharian ini hujan, mula-mula mereka menyangka hujan akan lekas reda, rupanya hujan yang tak berangin turun lama dan lebat. Sehingga Baso termenung di lepau itu, melihat titik-titik air dari atas ke tanah, menembusi pasir yang terkumpul.
Heran dengan Baso, mengapa dia tidak berangkat saja padahal dia membawa payung?
Baso tahu akan kehidupan Tenri, seorang gadis desa yatim piatu, anggun nan menawan wajahnya, menjadi perbincangan mulut-mulut para pemuda desa. Tidak sampai hati hendak meninggalkan mereka, meskipun belum bertegur sapa, tetapi tak membuka mulut.
Hari sore juga, tiba-tiba timbullah keberanian Baso, meskipun keringat mengucur dikala hujan, bermuka sopan menyapa Tenri.
“Tenri.... !”
Tenri tenang-tenang saja dan tidak menjawab, seakan menunggu apa yang dikatakan selanjutnya.
            “Sukakah Tenri saya tolong ?”
            “Apakah gerangan pertolongan Daeng itu ?”
“Berangkatlah lebih dahulu, pulang ke rumah, mak..mu mungkin akan khawatir jika berlarut terlalu lama di sini, pakailah payung ini berangkatlah.”
“Terima kasih!” jawab Tenri, sedang temannya tersenyum tersimpuh malu-malu juga.
“Jangan ditolak pertolongan ini, jika kelak engkau meminta pertolongan lenteran tidak ada yang menolong, hendak kemana ingin mengadu ?”
“Dan Daeng sendiri bagaimana ?” tutur Tenri.
“Saya seorang laki-laki, tak usah disusahkan, pukul 8 atau 9 malampun saya sanggup pulang sendiri, hujan ini akan reda. berangkatlah dahulu.”
“Kemana payung ini saya kembalikan ?”
“Besok saja atau jika ada waktu tak jadi apa, ke rumah macikku !”
“Terima Kasih Daeng, atas budi yang baik dari Daeng,” tutur Tenri sambil tersenyum layak bulan yang menuju pagi.”
            “Ah, baru pertolongan seperti itu, Tenri sudah hendak mengucapkan terima kasih !”
Tenri dan temannya pun berangkat, di dalam hujan dengan teduh payung, dan berlambat-lambat.
Baso tegak temenung seorang diri, menunggu hujan reda. Dalam menungannya itu, berjalanlah pikirannya kian ke sana ke mari, tatkala ia meningat payungnya, tatkala juga ia mengingat hujan di kampung halamannya yang dingin nan bersahabat. Ia menyempatkan diri untuk tinggal di negeri Pattinjo ini. Di Mandar ia dianggap orang berdarah Pattinjo, di tanah Pattinjo ia di anggap orang Mandar, kemalangan hidup tiba dalam kehidupannya.
Lama-lama ia teringat tenri meminjam payungnya, itulah rupanya Tenri, yang kerap kali disebut oleh mulut anak muda setempat, yang jadi buah pujian.

0 komentar:

Post a Comment