KH. Abd.
Rahman Ambo Dalle atau yang
familiar dipanggil Anregurutta Ambo Dalle terlahir dari
lingkungan keluarga yang masih kental dengan darah kebangsawanannya.
Anregurutta Ambo Dalle memiliki seorang Istri yang bernama Puang Marhawa dan
dikaruniai tiga orang putra yang bernama Dr. H. Ali Rusydi Ambo Dalle, H. Abd
Halim, H. M Rasyid Ridha. Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan tepatnya
kelahiran beliau, namun diperkirakansekitar tahun 1900 M, di Desa UjungE
Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo. Beliau wafat di Makassar tanggal 29
November 1996 (14 Rajab 1417 H) tepatnya di Rumah Sakit Akademis Jaury karena
menderita sakit, lalu dimakamkan di Pondok Pesantren DDI Mangkoso Kab. Barru.
Wali Dari Tanah Bugis
Anregurutta
Ambo Dalle sapaan akrab untuk Anregurutta KH. Abd Rahman Ambo Dalle merupakan
anak dari pasangan, Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama
Andi Candara Dewi. Mengapa Kedua orang tua Al-Mukarram memberi nama Ambo Dalle?,
Ambo berarti bapak dan Dalle berarti rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup
dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh
seorang ulama bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan
sudah dapat menghapal Al Qur’an. (Majalah Amanah No. 61 hal. 2) Sebagai anak
tunggal dari pasangan bangsawan Wajo itu, Anregurutta tidak dibiarkan menjadi
bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan
kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Awalnya, Ambo Dalle beliau
diserahkan pada seorang bibinya untuk belajar mengaji selama 15 hari dan
setelah itu ibunya mengambil alih untuk menggemblengnya setiap hari.
Kasih sayang
ibu yang sangat dalam kepada anaknya tidak lain karena kekhawatiran yang amat
sangat kalau sang putra semata wayang ini mendapat pengaruh yang buruk dari
anak sebayanya.
Tidak sukar
untuk mengenali Beliau, Anregurutta KH. Abd Rahman Dalle selalu mengenakan
Jubah dengan paduan jas serta surban yang melingkar sebagai pelapis songkok
beliau dikenal sebagai sosok yang familiar segala lapisan masyarakat baik dari
kalangan pemerintahan, masyarakat petani hingga kalangan preman, sehingga suatu
waktu banyak juga santri beliau pada waktu memimpin Pondok Pesantren Manahilil
Ulum DDI Kaballangan Kabupaten Pinrang berasal dari keluarga bekas pemberontak
DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar.
Latar
Belakang debut Pendidikan Anregurutta dimulai di Volk School (Sekolah Rakyat)
sedangkan sore hari dan malamnya beliau pergunakan untuk belajar mengaji,
sehingga waktunya tidak terlalu banyak untuk bermain di luar rumah,
Selanjutnya, beliau meneruskan pengajiannya dengan belajar tajwid, nahwu,
sharaf dan menghapal Al-Qur’an pada seorang ulama bernama KH. Muhammad Ishak.
Walaupun waktunya banyak untuk belajar, namun sisa-sisa waktu yang ada
beliau pergunakan untuk bermain bola yang menjadi kegemarannya. Anregurutta
adalah pemain handal yang bisa menggiring bola dengan berlari kencang sehingga
digelari “Si Rusa” (Majalah Gatra, Edisi Februari 1996). Anregurutta tidak
hanya mempelajari ilmu-ilmu Al-Qur’an seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu
sharaf, tafsir, dan fikhi, tetapi beliau pun mengikuti kursus bahasa Belanda di
HIS? Pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam
(SI) di Makassar. Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah
banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah setelah belajar di sana.
Diantaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang bermaksud
membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan nahwu sharaf.
Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung Ennengnge
(Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan
kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara
ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan
Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi).
Pada masa
mempelajari pelajaran agama dilakukan dengan cara tu’dang (sistem duduk
bersila); atau lebih dikenal dengan sistem pengajian sorogan dalam lingkungan
masyarakat pesantren di Jawa, cara lazim tersebut dimana guru membacakan kitab,
murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru. Keberhasilan belajar tergantung
pada kecerdasan murid dalam menangkap pembicaraan sang guru. Pada tahun 1928,
ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo
yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya,
Anregurutta tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu sehingga beliau berangkat ke
Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut. Agaknya, nasib baik
mengguratkan garisnya pada diri Anregurutta? Dengan kelengkapan bekal (fisik
dan mental) yang matang, diantaranya Alquran yang telah dihafalnya sejak umur 7
tahun, ditambah pengetahuan lainnya sehingga menjadi modal dasar untuk
mengikuti pelajaran yang diselenggarakan oleh AnreAnregurutta H. Muhammad As’ad
di Sengkang yang bersifat komprehensif. Sistem ini lebih menitikberatkan
pemahaman daripada hafalan sehingga sangat membekas bagi Anregurutta dan
membuatnya lebih tuntas dalam meraup seluruh ilmu yang diberikan sang guru.
Suatu
ketika, AnreAnregurutta Puang Aji Sade (begitu masyarakat Bugis menyapanya)
menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Anregurutta? Ternyata jawaban
beliau dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak itu beliau diangkat
menjadi asisten. Tahun 1935, beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan
ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk memperdalam ilmu agama,
pada seorang Syekh di Mekkah. Ketika suatu saat Anregurutta Ambo Dalle
menanyakan tentang hal-hal yang gaib, sang Guru memberikan kitab Khazinatul
Asraril Qubra. “Baca saja kitab itu, semua yang ingin kamu tanyakan dan
pelajari ada di situ,” kata Syeikh yang memberikan kitab itu. Dari sana
Anregurutta mengenal rahasia kehidupan Waliyullah di zaman dahulu. Anregurutta
pun mengamalkan ilmu yang diperoleh dari kitab itu, dan sejak itu pula beliau
dijuluki oleh para santri dengan panggilan Anregurutta yang artinya guru kita.
Kelak Anregurutta banyak mengalami kejadian gaib yang tidak dialami oleh orang
awam, misalnya berawal dari mimpi membaca kitab dan langsung menghafalnya saat
terbangun dari tidurnya.
Diculik Kahar Muzakkar
Perjalanan hidup terus bergulir dengan segala dinamika
yang mengiringinya. Hingga pada suatu hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955,
mobil yang dikemudikan oleh Abdullah Giling, sopir (sebelumnya adalah
pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta, dicegat sekelompok orang bersenjata
lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros. Awalnya, Abdulllah Giling mengira
pasukan tersebut adalah tentara yang sedang latihan perang-perangan. Ketika
mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata itu membuka topi bajanya dan
berhamburanlah rambut panjang melampaui punggung pemiliknya, ciri khas pasukan
pemberontak. Yakinlah mereka kalau sedang dihadang oleh gerombolan separatis
DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Waktu itu DI/TII memang banyak mengajak kaum
ulama untuk dibawa masuk ke hutan dan dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang
menolak akan diambil secara paksa (diculik) seperti yang terjadi pada Gurutta
KH. Abd. Rahman Mattammeng. Pasukan gerombolan tersebut tidak memberikan
kesempatan Gurutta Ambo Dalle untuk berbicara dan langsung dinaikkan ke atas
usungan. Gurutta lalu dibawa masuk ke hutan yang menjadi basis perjuangan
mereka untuk bergabung dengan anak buah Kahar Muzakkar. Niat pimpinan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia itu untuk menculik Gurutta Ambo Dalle memang
sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan kepada Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak
ini tampak gembira, “Alhamdulillah, Pak Kiai sudah di tengah-tengah kita, Insya
Allah dengan doa Pak Kiai, perjuangan kita akan mencapai kemenangan,” kata
Kahar Muzakkar.
Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup
ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama sekali tidak punya peluang untuk
keluar dari hutan dan kembali ke kota. Maka, terbersitlah pikiran Gurutta agar
lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti yang ia cita-citakan sejak
kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan keluarganya di hutan.
Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah tampaknya mendapat
benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut faham Wahabi dan
sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak mengherankan jika sering
terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan pengikut setianya.
Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di
tengah kancah perjuangan idealisme kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula
Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta. Kemana ia pergi Gurutta selalu
diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena tembakan dari serangan TNI,
Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan, berangsur-angsur luka
itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid Gurutta.
Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan
oleh pemerintah (TNI) semakin menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan
mereka kian lemah dan terpecah-pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan
pengawalan seperti sebelumnya. Hal itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari
kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari hutan. Beliau dijemput oleh TNI
dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama mencarinya dan langsung dibawa
menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan
itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi dalam ruangan, layaknya
pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama memendam rindu, baru
berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang bisa dipetik
dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai
kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu.
Kepribadian Gurutta
Sebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam,
Gurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik
santrinya maupun dengan masyarakat dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan
kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa pencintanya. Akan sulit menemukan
figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang perjuangannya di dalam
menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang kokoh untuk menegakkan
berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki jaringan cabang yang sangat
luas hingga keluar negeri. Kedekatannya dengan semua golongan terkadang membuat
beliau mempunyai “banyak anak” sebagai anak angkat yang tidak dibedakan dengan
anak kandungnya sendiri. Seperti pengakuannya dalam sebuah media, “Bagi saya,
semua orang seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara adil tidak
peduli apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan Wapres) ketika
menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai anak. Gurutta
pun menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai bukti dan mengajarkan
beberapa doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila Try Sutrisno ke Sulawesi
Selatan, selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Gurutta.
Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar
di Pesantren DDI, khususnya di Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan,
diperlakukan sama, baik santri laki-laki maupun perempuan? Beliau selalu
menaruh rasa cinta dan sayang kepada siapapun yang dianggap memiliki kemampuan
belajar tanpa memandang latar belakang keluarga. Sebagai contoh, beliau pernah
memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada ditangannya sebagai hadiah
kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gurutta.
Dalam kegiatan kemasyarakatan, Gurutta sangat
intens dalam memberikan perhatian dan meluangkan waktunya untuk membahas dan
menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ditemui ataupun yang
diajukan kepadanya? Namun, dengan segudang kesibukan yang mendera waktunya,
Gurutta tak pernah melupakan tugas sehari-hari untuk mengajar di pesantren dan
juga kegiatan dakwah yang diembannya hingga sampai ke pelosok-pelosok daerah.
Apalagi jika memasuki hari-hari besar Islam seperti pada peringatan maulid Nabi
Muhammad SAW. atau peringatan Isra’ Mi’raj Nabi, beliau jarang dijumpai di
rumah karena kesibukan berdakwah untuk kepentingan syiar Islam.
Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin
kerja sama yang sangat akrab. Beliau mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara
keduanya merupakan dwi tunggal yang mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan
beliau itu, sesungguhnya Gurutta juga adalah seorang yang menyimpan jiwa seni
yang cukup kuat. Orang-orang terdekatnya paham betul akan kemampuan Gurutta
dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan Islam.
Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang nyaris sama dengan yang
asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang masih tersimpan
sebagian di tangan santrinya.
Karya-Karya
Al-Mukarram Anregurutta KH. Abd Rahman Ambo Dalle
Sebagai
seorang ulama yang multi talenta, Anregurutta KH. Abd. Rahman Ambo Dalle juga
dikenal sebagai seorang seniman, pedagang, serta intelektual yang produktif
dalam menulis. Tidak kurang ada sekitar 25 judul buku telah dihasilkan oleh
Beliau.
Karya beliau
banyak mengurai masalah-masalah kesufian di dalam karya-karya tulisnya. Tapi,
tidak sebatas masalah kesufian saja, hampir semua cabang-cabang ilmu agama
beliau kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah, akhlak, balaghah, mantik,
dan lain-lain.
Kitab-kitab
tersebut antara lain, Kitab Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khaliq yang
diterjemahkan oleh H. Abd. Muiz Kabry kedalam bahasa Indonesia setelah melalui
proses tahsis ( validasi ) hingga sebanyak tiga karena ketelitian dan
kehati-hatian beliau, kitab ini memaparkan tentang kalimat penegasan yang benar
dalam mengenali Allah dan tatacara pengabdian terhadap-Nya. Menurut Gurutta,
manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka
mengenal hakikat tentang dirinya. Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya
berbekalkan akal logika saja, tapi dengan melakukan dzikir yang benar sebagai
perantara guna mencapai makrifat kepada Allah. Meskipun harus diakui bahwa
logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah
swt.
Dikemukakan
bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan Rasulullah berdasarkan
dalil-dalil naqli. Hati harus istiqamah dan tidak boleh goyah. Pendirian dan
sikap aqidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah
yang terdiri dari tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah
diyakini kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal
Jama’ah.
Kitab yang
membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab Tanwirut Thalib,
Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab. Tentang ilmu balaghah (sastra dan
paramasastra) bukunya berjudul Ahsanul Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I,
menerangkan kosa kata, dan cara penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul
Lughah, menerangkan kosa kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol
adalah kitab Irsyadul Salih. yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas
bait-bait kaidah ilmu Nahwu).
AG.H. Abd.
Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam Bahasa Arab, yakni
kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) dalam kitab Miftahul
Fuhum fil Mi’yarif Ulum.