Mula-mula Baso berkenalan ketika hujan turun lebat. Sebab daerah
sudut pinrang itu yang bertanah pattinjo, lebih banyak hujan dari pada
panasnya. Mereka akan kembali ke rumah, tiba-tiba hujan lebat turun ketika
mereka ada di depan lepau orang. Baso membawa payung dan Tenri bersama seorang
temannya tidak berpayung.
Seharian ini hujan, mula-mula mereka menyangka hujan akan lekas
reda, rupanya hujan yang tak berangin turun lama dan lebat. Sehingga Baso
termenung di lepau itu, melihat titik-titik air dari atas ke tanah, menembusi
pasir yang terkumpul.
Heran dengan Baso, mengapa dia tidak berangkat saja padahal dia
membawa payung?
Baso tahu akan kehidupan Tenri, seorang gadis desa yatim piatu,
anggun nan menawan wajahnya, menjadi perbincangan mulut-mulut para pemuda desa.
Tidak sampai hati hendak meninggalkan mereka, meskipun belum bertegur sapa,
tetapi tak membuka mulut.
Hari sore juga, tiba-tiba timbullah keberanian Baso, meskipun
keringat mengucur dikala hujan, bermuka sopan menyapa Tenri.
“Tenri.... !”
Tenri tenang-tenang saja dan tidak menjawab, seakan menunggu apa
yang dikatakan selanjutnya.
“Sukakah Tenri
saya tolong ?”
“Apakah gerangan
pertolongan Daeng itu ?”
“Berangkatlah lebih dahulu, pulang ke rumah, mak..mu mungkin akan
khawatir jika berlarut terlalu lama di sini, pakailah payung ini berangkatlah.”
“Terima kasih!” jawab Tenri, sedang temannya tersenyum tersimpuh
malu-malu juga.
“Jangan ditolak pertolongan ini, jika kelak engkau meminta
pertolongan lenteran tidak ada yang menolong, hendak kemana ingin mengadu ?”
“Dan Daeng sendiri bagaimana ?” tutur Tenri.
“Saya seorang laki-laki, tak usah disusahkan, pukul 8 atau 9
malampun saya sanggup pulang sendiri, hujan ini akan reda. berangkatlah
dahulu.”
“Kemana payung ini saya kembalikan ?”
“Besok saja atau jika ada waktu tak jadi apa, ke rumah macikku !”
“Terima Kasih Daeng, atas budi yang baik dari Daeng,” tutur Tenri
sambil tersenyum layak bulan yang menuju pagi.”
“Ah, baru
pertolongan seperti itu, Tenri sudah hendak mengucapkan terima kasih !”
Baso tegak temenung seorang diri, menunggu hujan reda. Dalam
menungannya itu, berjalanlah pikirannya kian ke sana ke mari, tatkala ia
meningat payungnya, tatkala juga ia mengingat hujan di kampung halamannya yang
dingin nan bersahabat. Ia menyempatkan diri untuk tinggal di negeri Pattinjo
ini. Di Mandar ia dianggap orang berdarah Pattinjo, di tanah Pattinjo ia di
anggap orang Mandar, kemalangan hidup tiba dalam kehidupannya.
Lama-lama ia teringat tenri meminjam payungnya, itulah rupanya
Tenri, yang kerap kali disebut oleh mulut anak muda setempat, yang jadi buah
pujian.
0 komentar:
Post a Comment